Tak Terima Diupah 600 Ribu, Buruh Haneka Putra Perdana Di PHK Saat Para Cagub Ibu Kota Umbar Janji Kepastian Kerja

Thursday 11 May 2017

Tak Terima Diupah 600 Ribu, Buruh Haneka Putra Perdana Di PHK Saat Para Cagub Ibu Kota Umbar Janji Kepastian Kerja

"Ibu tiri hanya cinta kepada ayahku saja. Bila ayah di sampingku ku dipuja dan dimanja"

Penggalan lirik lagu Ratapan Anak Tiri tersebut di atas, kira - kira itu kalimat yang pas untuk menggambarkan nasib Suyatmi dan kawan - kawan. Di saat publik tengah dibingungkan dengan drama politik DKI akhir - akhir ini, dua puluh sembilan orang buruh PT. Haneka Putra Perdana justru tengah berjuang melawan PHK semena - mena yang dilakukan oleh pengusaha. Para buruh yang mayoritas ibu - ibu itu yang sudah menyumbang keuntungan besar bagi perusahaan ditendang begitu saja.

PHK sepihak itu terjadi pada tanggal 9 Maret 2017. Ketika itu para buruh yang datang pagi - pagi dan hendak masuk ke pabrik di jalan Cendrawasih V No. 9 RT. 05/06 Cengkareng, Jakarta Barat, mereka kaget dengan kondisi pagar perusahaan yang memproduksi garmen itu terkunci. Bahkan hingga sore hari perusahaan tetap tutup dan tidak ada aktifitas sama sekali. Tidak seorang pun managemen atau buruh level menengah ke atas yang terlihat datang ke pabrik. Kondisi seperti terus terjadi selama tiga hari berturut turut.

Tanggal 11 Maret 2017, pihak perusahaan melayangkan surat tertanggal 9 Maret 2017 kepada Suyatmi dkk. Dalam surat tersebut Suyatmi dkk dinyatakan putus hubungan kerja nya oleh perusahaan karena telah melakukan mogok kerja yang tidak sah. 

Jauh sebelum PHK terjadi, di bulan Januari terlebih dulu Suyatmi, dkk telah melaporkan perusahaan ke Suku Dinas Tenaga Kerja (Sudinaker) Jakarta Barat terkait sejumlah hak normatif yang dilanggar. Pengaduan tersebut dilakukan akibat itikad baik dari anggota Serikat Buruh Nusantara (SBN-KASBI) PT. HPP itu tidak ditanggapi baik oleh perusahaan. Justru sebaliknya, tak lama setelah itu perusahaan membalas dengan melakukan pemutusan hubungan kerja kepada Wiyarti, Abdul Karim dan Dendi Yuspriandi serta disusul PHK kepada empat orang lain nya tanpa dasar yang jelas.

"Kami sudah ber-itikad baik, berkali - kali nyuratin perusahaan agar mau duduk bareng bahas masalah ini tapi nggak digubris sama sekali", Suyatmi menuturkan. 

Dalam surat aduan, mereka meminta agar pengawas pada Sudinaker Jakarta Barat melakukan pemeriksaan dan mengeluarkn nota atas pelanggaran norma keternagakerjaan yang dilakukan perusahaan, diantaranya:
  1. Upah di bawah Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta;
  2. Upah lembur yang tidak sesuai aturan;
  3. Tunjangan Hari Raya yang tidak sesuai aturan;
  4. Cuti haid bagi buruh perempuan yang tidak diberikan;
  5. Penerapan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang bertentangan dengan aturan;
  6. BPJS Kesehatan dan BPJS KetenagaKerjaan yang tidak dilaksanakan.
Sehubungan dengan pemutusan PHK tersebut mediator pada Sudinaker Jakarta Barat telah mengeluarkan Anjuran yang pada pokoknya menyatakan bahwa PHK yang dilakukan perusahaan batal demi hukum. Dalam anjuran mediator juga megaskan bahwa perusahaan  segera mempekerjakan kembali buruhnya. 

Pihak Pengawasan Disnaker Jakarta Barat juga telah mengeluarkan Nota Dinas yang menetapkan bahwa perusahaan terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana aduan para buruh. Namun demikian, baik anjuran maupun nota dinas tidak dijalankan oleh perusahaan hingga saat ini.

"Anjuran sama nota sudah keluar, karna orang Dinas kita kejar terus. Bahkan kami pernah ditegur sama pengawas gara - gara dia kami laporin ke kadis karna lamban dan kurang serius nanganin kasus kami", ujar Firdaus salah seorang buruh yang terPHK.

Hingga kini Suyatmi, dkk masih tetap bertahan dan terus melakukan upaya untuk memperjuangkan hak - hak mereka. Beberapa dari mereka bekerja serabutan sekedar memenuhi kebutuhan sehari hari. Purwati misalnya, ibu yang sudah dimakan usia ini sehari - hari berkeliling untuk menjual kopi. Uang dari hasil jual kopi yang tak seberapa itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Bu Purwati yang sudah bekerja dari tahun 1995 itu juga bercerita tentang bagaimana susahnya membagi bagi gaji yang hanya Rp. 900.000 per bulan, sementra biaya hidup di kota seperti Jakarta tiap tahun semakin naik. Dia juga mengeluhkan terkait kontrak nya yang tidak jelas. Meski sudah bekerja selama 22 (dua piluh dua) tahun tapi dia tetap masih dikontrak.

"Gajih itu ga naik - naik. Tahun 2015 gajinya 900 ribu, 2017 gak naik masih 900 ribu gimana mau cukup, biaya kontrakan aja udah ketauan gede", keluh Purwati.

Hal yang sama dirasakan oleh Sopiyah yang sudah memiliki masa kerja 18 tahun. Dia menuturkan bahwa selama bekerja di PT. Haneka Putra Perdana, dirinya belum pernah menikmati upah minimun provinsi DKI Jakarta.

"Boro - boro UMP, naik seratus ribu aja itu udah syukur. Tahun 2015 saya gajinya 500 ribu, 2016 naik 100 ribu jadi 600 ribu, Tahun 2017 gak naik masih sama. Udah gitu dikontrak terus", Sopiyah menambahkan.

Mereka sempat melakukan aksi menduduki pabrik selama hampir sebulan. Mereka tetap datang ke perusahaan dengan maksud ingin bekerja, tetapi perusahaan masih arogan dan tidak mengijinkan mereka memasuki area pabrik.

Para buruh pemegang Kartu Tanda Penduduk (KTP) DKI Jakarta ini kecewa dengan PHK yang dilakukan perusahaan di saat Para calon Gubernur - Wakil Gubernur DKI Jakarta tengah sibuk blusukan, mengumbar janji kepastian kerja untuk warga Jakarta demi meraih suara pada Pilkada DKI lalu. Mereka berharap pemerintah mau mengambil tindakan hukum tegas atas pelanggran dan kesewenang - wenangan pengusaha. (IB)

0 komentar: