Regionalisasi Upah, Politik Rezim Memecahbelah Gerakan Buruh

Thursday 24 August 2017

Regionalisasi Upah, Politik Rezim Memecahbelah Gerakan Buruh

Regionalisasi Upah, Politik Rejim Memecahbelah Gerakan Buruh
Dindonesia, penetapan upah Buruh/Pekerja dilakukan berdasarkan wilayah atau kota/kabupaten. Ini diberlakukan sejak orde baru dan diperkuat pasca reformasi, sebagai salah satu pelaksanaan kebijakan penandatanganan Letter Of intent (LOI) Indonesia dengan IMF. Bila kita tilik diberbagai Negara, penetapan standart upah selalu dalam skala nasional, bukan regional/wilayah. Penetapan besarnya upah berdasarkan wilayah tentu memiliki maksud dan tujuan tersendiri, dalam upaya menjaga akumulasi keuntungan pengusaha dan masuknya investor asing ke Indonesia. 

Pemerintah beragumen, bahwa Upah ditetapkan berdasarkan kebutuhan Buruh dimana mereka tinggal dan berdasarkan inflasi. Dan karena disetiap wilayah berbeda-beda harga kebutuhannya, maka upah minimumnya juga berbeda. Namun seharusnya kita mulai lihat lebih mendalam argument terebut, bukankah kendali ekonomi tidak lepas dari politik. Dalam hal ini harga didalam masyarakat bisa dikendalikan oleh kebijakan politik Negara/pemerintah. Dan kebutuhan masyarakat, dalam hal ini buruh tidak berbeda jauh dengan masyarakat lainnya.

Memecahbelah


Penetapan upah berdasarkan wilayah ini, pada akhirnya akan membuat angka nominal berbeda-beda antar kota dalam satu propinsi dan juga antar propinsi dalam satu pulau. Nah, penetapan secara regional (sekarang berbasis kota/kabupaten) memiliki kelemahan mendasar, yakni:

Serikat Buruh/Serikat pekerja terkotak-kotak dalam skala kecil, kota/kabupaten. Organisasi pada akhirnya hanya terkonsentrasi dalam skala kecil, tidak berorientasi secara nasional. Padahal semua kebijakan dilevel kota/kebupaten mengacu pada kebijakan tingkat nasional. Contoh ini bisa kita lihat, pada beberapa tahun belakangan tidak ada lagi aksi Upah dalam skala propinsi yang merupakan aksi gabungan, yang ada aksi-aksi tingkat kota saja. Dan ini juga memicu menurunnya tingkat solidaritas.

Perjuangan Upah oleh Serikat Buruh, pada akhirnya terjebak pada egosentris wilayahnya bukan kepentingan sebagai pekerja/buruh dalam meningkatkan taraf kehidupannya. Dan dalam situasi ini, seringkali organisasi buruh “dipaksa” memakai logika yang dibangun oleh penguasa.

Regionalisasi Upah telah melahirkan kesenjangan antar wilayah didalam negeri Indonesia dalam penetapan Upah, sehingga menjadi alasan untuk relokasi perusahaan dari kota yang satu kekota yang lain dalam wilayah Indonesia, dalam logika pengusaha selalu mencari upah yang murah dan sumber daya alam yang masih bagus. 

Tentu bila diurai lebih mendalam masih banyak kelemahannya dari pola penetapan upah secara regional kewilayahan. Tentunya, inilah yang diharapkan oleh pengusaha dan pemerintah. Yakni sebuah kekuatan organisasi buruh yang lemah, terkotak-kotak dan pada ujungnya sangat pramatis. 

Maka saatnya kita memperbaiki langkah perjuangan dalam peningkatan Upah buruh di Indonesia. Karena bila tidak ada terobosan baru, maka akan semakin mengkerdilkan kekuatan Serikat Buruh kedepan.

Penetapan Upah Secara Nasional Yang Layak


Bila bukan regionalisasi, lalu apa?

Jawabnya seperti yang sering kita tuntut dalam aksi, yakni Upah layak nasional. Penetapan Upah juga harus secara wilayah nasional, bukan dikotak-kotak dalam satu kota saja. Artinya harus dibuat standart upah secara nasional secara layak untuk kehidupan manusia.

Bila ada pertanyaan : Apa Mungkin?

Mari kita lihat contoh, Pegawai Negeri Sipil (PNS), bukankah penggajiannya memakai standart nasional, mereka hanya mendapat tambahan dari tunjangan-tunjangan, tetapi gaji pokok tiap golongannya sama, mulai dari Sabang sampai merauke. Standart ini juga berlaku untuk prajurit TNI dan Polri, secara nasional memiliki standart gaji yang sama. Bukan perdaerah atau wilayah. Nah, bila gaji PNS saja bisa, mengapa gaji Buruh tidak bisa dibuat standart secara nasional. Maka regionalisasi upah buruh patut dipertanyakan, diprotes dan diperbaiki menjadi Standart upah nasional yang layak.

Contoh tersebut juga diberlakukan dibeberapa perusahaan MNC terhadap karyawannya yang memiliki jabatan Manajer atau posisi-posisi manajemen. Dia tidak lagi melihat wilayah dan berapa kebutuhan-kebutuhan, gajinya sama saja.

Dilain hal, penetapan upah dengan memakai system regional berdalih bahwa harga kebutuhan dipasar berbeda-beda. Tingkat nilai uang terhadap barang didaerah berbeda-beda. Demikian argument pemerintah. Ini harus kita jawab, bahwa kondisi ekonomi tidak terlepas dari politik. Kebijakan leberalisasi pasar (pasar bebas) memungkin semua pedagang berspekulasi/manufer (menggunakan setiap kesempatan untuk menaikkan harga atau menurunkan harga semaunya). Nah, karena pemerintah menggunakan system liberalisasi pasar maka situasi harga dipasar akan tidak stabil. Dia akan dipengaruhi oleh tersedia atau tidaknya suatu barang, mudah terjangkau atau tidaknya suatu barang(transportasi/akses), banyak peminat atau tidak pada suatu barang, banyaknya jenis produksi yang sama atau tidak(persaingan merk), dan beberapa hal lagi.

Nah, dengan logika liberalisasi pasar yang dipakai oleh pemerintah untuk memberi keuntungan sebesar-besarnya kepada pengusaha itulah, maka kita bisa saksikan harga beras dijakarta lebih murah daripada di Papua, harga pakaian di Bandung lebih murah daripada di banjarmasin. Atau didalam satu propinsi, harga minyak tanah di Ciwidey(daerah dataran tinggi perkebunan dikabupaten bandung) lebih mahal dari pada dikota bandung. Semua ini bias diatasi, apabila pemerintah mau mengeluarkan kebijikan poltik dalam mengatur system ekonomi. Sehingga ada pemerataan harga semua barang kebutuhan di Negara Indonesia ini.

Penetapan Upah secara nasional ini juga berlaku dibanyak Negara, sebagai garis batas terendah pemberian upah terhadap buruh dalam satu Negara. Namun yang harus jadi catatan adalah bahwa penetapan upah secara nasional haruslah mendasarkan pada kebutuhan hidup yang layak, yang dapat memenuhi : papan (Tempat tinggal), sandang(pakaian), pangan (makan-minum yang bergizi), Pendidikan (termasuk informasi dll), dan Kesehatan (termasuk rekreasi). Penetapan ini juga harus diikuti kebijakan politik pemerintah dengan menghentikan system pasar bebas, diganti dengan system pasar yang terkontrol oleh Negara. (Beno Widodo)

0 komentar: